Pasca pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS yang dilaksanakan pada tahun anggaran 2005 hingga 2009 ternyata masih menyisakan beberapa persoalan. Salah satu persoalan itu adalah adanya tenaga honorer yang tidak diangkat menjadi CPNS. Akhirnya pemerintah, dalam hal ini Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, mengeluarkan Surat Edaran Nomor 5 Tahun 2010. Surat yang diterbitkan pada tanggal 28 Juni 2010 itu bertujuan untuk melakukan pendataan tenaga honorer yang bekerja di instansi pemerintah.
Dalam SE tersebut tenaga honorer yang dapat didata terdiri dari 2 kategori. Perbedaan di antara kedua kategori terletak pada penghasilannya. Kategori 1 penghasilannya dibiayai oleh APBD/APBN, sedangkan Kategori 2 oleh non APBD/APBN. Selain masalah sumber penghasilan, kriteria kedua kategori tidak ada perbedaan, yakni memenuhi persyaratan masa kerja, memenuhi persyaratan usia, bekerja di instansi pemerintah, dan diangkat oleh pejabat yang berwenang.
Kriteria yang terakhir, yakni diangkat oleh pejabat yang berwenang agak berbeda dengan kriteria dalam PP Nomor 48 Tahun 2005 jo PP Nomor 43 Tahun 2007. PP ini merupakan landasan hukum pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS. Dalam Pasal 1 PP itu disebutkan tentang siapa yang berwenang mengangkat seseorang menjadi tenaga honorer, yakni Pejabat Pembina Kepegawaian atau pejabat lain dalam pemerintahan. Apakah Pejabat Pembina Kepegawaian atau pejabat lain dalam pemerintahan sama dengan pejabat yang berwenang? Bisa ya, bisa tidak.
UU Kepegawaian yakni UU Nomor 8 Tahun 1974 jo UU Nomor 43 Tahun 1999 tidak mengenal istilah “pejabat lain dalam pemerintahan”. Yang ada adalah pejabat yang berwenang, atasan yang berwenang, dan pejabat yang berwajib. Pejabat yang berwenang adalah pejabat yang mempunyai kewenangan mengangkat dan atau memberhentikan Pegawai Negeri berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sedangkan istilah Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) diatur dalam PP Nomor 63 Tahun 2009 jo PP Nomor 9 Tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian PNS. PPK terdiri dari PPK Pusat, PPK Daerah Provinsi, dan PPK Daerah Kabupaten/Kota. PPK Pusat misalnya Menteri, Jaksa Agung, Kapolri, dan lain-lain. PPK Daerah Provinsi adalah Gubernur. PPK Kabupaten/Kota adalah Bupati/Walikota. Dalam PP ini pun ada istilah pejabat yang berwenang, sama dengan yang diatur dalam UU Kepegawaian, namun ada penambahan wewenang selain mengangkat dan memberhentikan yaitu memindahkan PNS. PPK berwenang melakukan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian PNS di lingkungannya masing-masing. Dengan demikian PPK bisa disebut sebagai pejabat yang berwenang. Namun dalam PP ini masih tidak dikenal istilah ”pejabat lain dalam pemerintahan”.
Lalu siapa yang disebut dengan pejabat lain dalam pemerintahan. Karena ada kata ”lain” tentu ini tidak merujuk pada PPK. Dalam manajemen kepegawaian setiap PNS mempunyai jabatan, baik itu jabatan struktural, jabatan fungsional tertentu, maupun jabatan fungsional umum. Dengan demikian setiap PNS adalah pejabat, baik itu pejabat struktural, pejabat fungsional tertentu, atau pejabat fungsional umum. Dengan kata lain setiap PNS mempunyai kewenangan untuk mengangkat tenaga honorer. Sekretaris Daerah, Asisten, Staf Ahli, Kepala Dinas, Kepala Kantor, Kepala Bagian, Kepala Bidang, Camat, Lurah, Sekdes, Kepala Sekolah, Guru, Dokter, Apoteker, Perawat, Bidan, Mantri Suntik, Penyuluh Pertanian, Penyuluh KB, Arsiparis, Sandiman, dan sebagainya berhak untuk mengangkat tenaga honorer.
Benarkah demikian?
Diposkan oleh wurianto saksomo
Dalam SE tersebut tenaga honorer yang dapat didata terdiri dari 2 kategori. Perbedaan di antara kedua kategori terletak pada penghasilannya. Kategori 1 penghasilannya dibiayai oleh APBD/APBN, sedangkan Kategori 2 oleh non APBD/APBN. Selain masalah sumber penghasilan, kriteria kedua kategori tidak ada perbedaan, yakni memenuhi persyaratan masa kerja, memenuhi persyaratan usia, bekerja di instansi pemerintah, dan diangkat oleh pejabat yang berwenang.
Kriteria yang terakhir, yakni diangkat oleh pejabat yang berwenang agak berbeda dengan kriteria dalam PP Nomor 48 Tahun 2005 jo PP Nomor 43 Tahun 2007. PP ini merupakan landasan hukum pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS. Dalam Pasal 1 PP itu disebutkan tentang siapa yang berwenang mengangkat seseorang menjadi tenaga honorer, yakni Pejabat Pembina Kepegawaian atau pejabat lain dalam pemerintahan. Apakah Pejabat Pembina Kepegawaian atau pejabat lain dalam pemerintahan sama dengan pejabat yang berwenang? Bisa ya, bisa tidak.
UU Kepegawaian yakni UU Nomor 8 Tahun 1974 jo UU Nomor 43 Tahun 1999 tidak mengenal istilah “pejabat lain dalam pemerintahan”. Yang ada adalah pejabat yang berwenang, atasan yang berwenang, dan pejabat yang berwajib. Pejabat yang berwenang adalah pejabat yang mempunyai kewenangan mengangkat dan atau memberhentikan Pegawai Negeri berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sedangkan istilah Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) diatur dalam PP Nomor 63 Tahun 2009 jo PP Nomor 9 Tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian PNS. PPK terdiri dari PPK Pusat, PPK Daerah Provinsi, dan PPK Daerah Kabupaten/Kota. PPK Pusat misalnya Menteri, Jaksa Agung, Kapolri, dan lain-lain. PPK Daerah Provinsi adalah Gubernur. PPK Kabupaten/Kota adalah Bupati/Walikota. Dalam PP ini pun ada istilah pejabat yang berwenang, sama dengan yang diatur dalam UU Kepegawaian, namun ada penambahan wewenang selain mengangkat dan memberhentikan yaitu memindahkan PNS. PPK berwenang melakukan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian PNS di lingkungannya masing-masing. Dengan demikian PPK bisa disebut sebagai pejabat yang berwenang. Namun dalam PP ini masih tidak dikenal istilah ”pejabat lain dalam pemerintahan”.
Lalu siapa yang disebut dengan pejabat lain dalam pemerintahan. Karena ada kata ”lain” tentu ini tidak merujuk pada PPK. Dalam manajemen kepegawaian setiap PNS mempunyai jabatan, baik itu jabatan struktural, jabatan fungsional tertentu, maupun jabatan fungsional umum. Dengan demikian setiap PNS adalah pejabat, baik itu pejabat struktural, pejabat fungsional tertentu, atau pejabat fungsional umum. Dengan kata lain setiap PNS mempunyai kewenangan untuk mengangkat tenaga honorer. Sekretaris Daerah, Asisten, Staf Ahli, Kepala Dinas, Kepala Kantor, Kepala Bagian, Kepala Bidang, Camat, Lurah, Sekdes, Kepala Sekolah, Guru, Dokter, Apoteker, Perawat, Bidan, Mantri Suntik, Penyuluh Pertanian, Penyuluh KB, Arsiparis, Sandiman, dan sebagainya berhak untuk mengangkat tenaga honorer.
Benarkah demikian?
Diposkan oleh wurianto saksomo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar