“Tetangga saya. Belum ada sebulan tinggal di rumah kontrakan saya. Sini, di gang belakang. Orangnya tinggi besar. Dia tinggal di situ dengan kedua orangtuanya. Kakak-kakaknya tinggal dengan keluarga masing-masing. Jauh dari sini.
Anaknya ramaaah…sekali. Kenal dia belum sebulan, tapi rasanya sudah kenal bertahun-tahun. Setiap saya ada di luar untuk bersih-bersih, dan kebetulan dia lewat, pasti disapa dengan senyum lebarnya. Ternyata sama orangtuanya juga begitu. Pas makan malamnya kemarin, ibunya memasakkan sop dan perkedel kentang. Dan ibunya menemani. Sambil makan, dia nggak pernah lupa ajak ngobrol, ‘mah enak nih perkedelnya. Bikinnya gimana mah?’ ‘Ya, kentang direbus dicampur bumbu.’ ‘Kentangnya berapa banyak mah?’ ‘ Yaaa….sekilo cukup lah’ ‘Kalau nambah, lebih dari sekilo boleh gak mah?’ ‘Ya boleh dong…’ ‘Aku nanti mau ah nyoba buat sendiri, lebih dari sekilo,’ jawab ibunya sambil senyam senyum, paham dengan niat baik anaknya yang ingin menyenangkan ibunya.
Kadang kita kan lupa ya, untuk sekedar basa basi ke orangtua sendiri. Pikiran kita kan, ah sama orangtua aja masak basa basi :)
[Aku pernah nggak ya basa basi seperti itu ke orangtua?]
‘Mah, aku besok mau puasa. Jadi sekalian sekarang buat sahur aja ya mah.’
Hari itu memang dia pulang malam, jam 11an. Makan malamnyapun telat.
Pagi harinya, seperti biasa dia ke masjid. Dan sepulangnya dia langsung masuk kamar. Masih dengan baju sholatnya. Sekitar jam 6,ibunya memanggil-manggil dia, karena tidak biasanya dia terlambat keluar kamar. Kamarnya diketuk-ketuk kok nggak ada jawaban..... Karena nggak ada jawaban, ibunya membuka pintu. Untungnya nggak pas dikunci. Ternyata dilihat anaknya sudah tertidur telentang, dengan mata tertutup dan telapak tangan setengah terbuka. Seperti tertidur biasa. Ibunya manggil-manggil, dengan suara agak keras dan menggoyang2kan badan anaknya,”Dicki...dicki...bangun..nanti terlambat..”
Sadar anaknya kritis, dia keluar rumah sambil memanggil-manggil tetangganya,”Bu...bu...tolong anak saya. Anak saya bu..” Suaminya sendiri sudah sakit yang nggak bisa bangun dari tempat tidur. Akhirnya tetangga berdatangan. Saya sendiri tahu berita itu dari pengumuman masjid, ada yang meninggal. Namanya anu. Tapi saya belum ngeh, karena saya kira tetangga yang lain. Anak saya si Fatih yang teriak teriak, “Mi, itu kan Bang Dicki yang di kontrakan Mi...” Kaget saya, nggak nyangka sama sekali. Orang baru kemarin ngelihat dia lewat depan rumah sambil gotong aqua galonan. Nggak sakit sama sekali.
Saya langsung lari ke rumahnya. Sudah rame di sana. Ibunya masih shock, pingsan. Bapaknya juga. Sementara Dickinya saya lihat masih di posisi semula. Semua tetangga belum ada yang berani nyentuh karena nggak ada keluarga lain di rumah itu. Ya Allah, ini gimana...Saya sebagai pemilik rumah ini mesti tanggung jawab juga kan. Saya celingak celinguk di kamar itu, lihat ada HP di meja. Saya lihat phonebooknya, ada satu nama. Saya ngga tahu ini siapanya Dicki. Saya telepon aja. Ternyata alhamdulillah itu guru ngajinya Dicki. Saya bilang,’Pak, saya tetangganya Dicki. Ini Dicki sudah meninggal, tapi saya nggak punya no.telepon keluarganya jadi saya telepon bapak.’ ‘ Innalillahi,meninggal bu?? Baru tadi malam kami ketemu di pengajian...’
[Deg. Siap nggak ya aku kalau terima kabar serupa?]
Akhirnya saya nemu no.telepon beberapa keluarganya dan teman-temannya. Sambil menunggu mereka datang, kami tetangganya yang ibu-ibu mencoba menghibur ibunya. Menemani. Sementara bapak-bapak mengurus jenazahnya. Akhirnya setelah agak lama, ibunya bisa berkata,”Ya Allaah...saya ikhlaas kalau Dicki diambil lebih dulu.”
Subhaanallah, itu wajah si Dicki saya perhatikan setelah dimandikan yah, senyum lebar, benar lebar.
Selama saya menemani si ibu, saya banyak dapat cerita tentang kebaikan dia. Kesholehan dia.
Ibunya cerita, ‘Dia pernah bilang; aku bersyukuuur sekali dapat kontrakan disini mah. Karena benar-benar bersebelahan dengan masjid. Trus duren sawit kan letaknya tengah-tengah ya mah, dari bekasi tempat mamah kerja lebih dekat, sama tempat kerjaku juga. Dia memang pengen tinggal bareng orangtua, karena dulu dia sempet kos, cuma katanya nggak enak tinggal jauh dari kami.
Setiap ramadhan, dia memang selalu ngajak kita untuk i’tikaf di at tiin. Kan ramadhan besok kita nggak usah jauh-jauh lagi i’tikaf mah, di sini aja. Dekat. Enak kan mah. Memang cita-cita dia dari dulu mau punya tempat tinggal deket masjid.’
Ibunya juga bilang, di tempat kerjanya, dia nggak mau di bagian yang masarin buku ke sekolah-sekolah. Kata dia, seringnya jadi lahan kolusi sama kepsek. Jadi editor di belakang meja aja. Lebih menenangkan.
Kalau di pertemuan-pertemuan keluarga, dia yang paling semangat ngajak sholat begitu adzan kedengaran. Dia bilangnya,’Ah, aku mau nungging dulu ah.’ Dia bangun dari tempat duduknya, terus mulai deh nggeser-geser meja sambil gelar sajadah-sajadah. Kan orang yang lihat otomatis ikutan kan, nggak punya kesempatan atau alasan buat nunda lagi :)
Begitu juga pas saya ketemu guru ngajinya. Cerita beliau, dia juga bacaan qur’annya paling bagus di antara teman-temannya. Subhaanallah...gurunya ternyata orang yang cukup familiar lho di telinga kita-kita yang suka baca T*****i.
Saya ikut nemani keluarganya sampai ke makam, di pondok kopi situ. Mulai dari awal sampai akhir. Pas saya dengan ibunya melihat liang, saya mbatin,”Kok lubangnya kecil bener sih. Tukang galinya belum tahu apa ya, orangnya kan tinggi besar. Tapi liangnya kayaknya nggak akan muat deh. Tapi subhaanallah, ternyata bisa masuk... Bahkan ada lebihnya beberapa jengkal.
Dan ternyata yang tadi mbatin nggak cuma saya. Sepulang dari makam, saya dan keluarganya sempat ngobrol hal yang sama!
Trus, ketika seorang temannya masuk ke liang untuk menaruh jasadnya di tanah, dia benar-benar merasa tidak sedang membopong jenazah seberat 100kg, tapi seperti ringannya orang biasa saja. Ringan...
Bahkan ketika tadi masih di rumah, kalau yang menggotong dua orang saja cukup bu, ringan banget, kata temannya itu. Subhaanallah...
Cerita ini nggak cuma saya ceritakan di sini, tapi juga ke teman-teman saya yang lain. Dan bukan hanya saya, para tetangga disini juga mendapat kesan yang sama. Ibu saya juga menggumam terus,”Ya Allah, si Dicki....anak baik itu...”
Kakaknya sendiri, cerita ke saya, “Saya pernah nyinggung-nyinggung jodoh. Usianya kan sudah cukup untuk nikah [26]. Saya tanya-tanya. Dia bilangnya, iya, insya Allah yang terbaik. Yang terbaik memang sudah dia dapat! Bidadari!
Dia benar-benar dapat apa yang dia inginkan....bidadari.....
Saya ....saya benar-benar berharap kelak anak-anak saya sesholeh dia ya Allah...
Ya Allah, jadikan anak-anak kami anak-anak sholeh, seperti Dicki...
Seperti kata ibunya, “Ya Allah, titipan-Mu itu benar-benar menyenangkan hati kedua orangtuanya. Kau ambil dalam keadaan suci, dan sedang berpuasa. Saya ikhlas melepasnya... ”
[kami semua yang mendengarkan tunduk terpekur, berurai air mata dan mengaminkan doa itu]
Anaknya ramaaah…sekali. Kenal dia belum sebulan, tapi rasanya sudah kenal bertahun-tahun. Setiap saya ada di luar untuk bersih-bersih, dan kebetulan dia lewat, pasti disapa dengan senyum lebarnya. Ternyata sama orangtuanya juga begitu. Pas makan malamnya kemarin, ibunya memasakkan sop dan perkedel kentang. Dan ibunya menemani. Sambil makan, dia nggak pernah lupa ajak ngobrol, ‘mah enak nih perkedelnya. Bikinnya gimana mah?’ ‘Ya, kentang direbus dicampur bumbu.’ ‘Kentangnya berapa banyak mah?’ ‘ Yaaa….sekilo cukup lah’ ‘Kalau nambah, lebih dari sekilo boleh gak mah?’ ‘Ya boleh dong…’ ‘Aku nanti mau ah nyoba buat sendiri, lebih dari sekilo,’ jawab ibunya sambil senyam senyum, paham dengan niat baik anaknya yang ingin menyenangkan ibunya.
Kadang kita kan lupa ya, untuk sekedar basa basi ke orangtua sendiri. Pikiran kita kan, ah sama orangtua aja masak basa basi :)
[Aku pernah nggak ya basa basi seperti itu ke orangtua?]
‘Mah, aku besok mau puasa. Jadi sekalian sekarang buat sahur aja ya mah.’
Hari itu memang dia pulang malam, jam 11an. Makan malamnyapun telat.
Pagi harinya, seperti biasa dia ke masjid. Dan sepulangnya dia langsung masuk kamar. Masih dengan baju sholatnya. Sekitar jam 6,ibunya memanggil-manggil dia, karena tidak biasanya dia terlambat keluar kamar. Kamarnya diketuk-ketuk kok nggak ada jawaban..... Karena nggak ada jawaban, ibunya membuka pintu. Untungnya nggak pas dikunci. Ternyata dilihat anaknya sudah tertidur telentang, dengan mata tertutup dan telapak tangan setengah terbuka. Seperti tertidur biasa. Ibunya manggil-manggil, dengan suara agak keras dan menggoyang2kan badan anaknya,”Dicki...dicki...bangun..nanti terlambat..”
Sadar anaknya kritis, dia keluar rumah sambil memanggil-manggil tetangganya,”Bu...bu...tolong anak saya. Anak saya bu..” Suaminya sendiri sudah sakit yang nggak bisa bangun dari tempat tidur. Akhirnya tetangga berdatangan. Saya sendiri tahu berita itu dari pengumuman masjid, ada yang meninggal. Namanya anu. Tapi saya belum ngeh, karena saya kira tetangga yang lain. Anak saya si Fatih yang teriak teriak, “Mi, itu kan Bang Dicki yang di kontrakan Mi...” Kaget saya, nggak nyangka sama sekali. Orang baru kemarin ngelihat dia lewat depan rumah sambil gotong aqua galonan. Nggak sakit sama sekali.
Saya langsung lari ke rumahnya. Sudah rame di sana. Ibunya masih shock, pingsan. Bapaknya juga. Sementara Dickinya saya lihat masih di posisi semula. Semua tetangga belum ada yang berani nyentuh karena nggak ada keluarga lain di rumah itu. Ya Allah, ini gimana...Saya sebagai pemilik rumah ini mesti tanggung jawab juga kan. Saya celingak celinguk di kamar itu, lihat ada HP di meja. Saya lihat phonebooknya, ada satu nama. Saya ngga tahu ini siapanya Dicki. Saya telepon aja. Ternyata alhamdulillah itu guru ngajinya Dicki. Saya bilang,’Pak, saya tetangganya Dicki. Ini Dicki sudah meninggal, tapi saya nggak punya no.telepon keluarganya jadi saya telepon bapak.’ ‘ Innalillahi,meninggal bu?? Baru tadi malam kami ketemu di pengajian...’
[Deg. Siap nggak ya aku kalau terima kabar serupa?]
Akhirnya saya nemu no.telepon beberapa keluarganya dan teman-temannya. Sambil menunggu mereka datang, kami tetangganya yang ibu-ibu mencoba menghibur ibunya. Menemani. Sementara bapak-bapak mengurus jenazahnya. Akhirnya setelah agak lama, ibunya bisa berkata,”Ya Allaah...saya ikhlaas kalau Dicki diambil lebih dulu.”
Subhaanallah, itu wajah si Dicki saya perhatikan setelah dimandikan yah, senyum lebar, benar lebar.
Selama saya menemani si ibu, saya banyak dapat cerita tentang kebaikan dia. Kesholehan dia.
Ibunya cerita, ‘Dia pernah bilang; aku bersyukuuur sekali dapat kontrakan disini mah. Karena benar-benar bersebelahan dengan masjid. Trus duren sawit kan letaknya tengah-tengah ya mah, dari bekasi tempat mamah kerja lebih dekat, sama tempat kerjaku juga. Dia memang pengen tinggal bareng orangtua, karena dulu dia sempet kos, cuma katanya nggak enak tinggal jauh dari kami.
Setiap ramadhan, dia memang selalu ngajak kita untuk i’tikaf di at tiin. Kan ramadhan besok kita nggak usah jauh-jauh lagi i’tikaf mah, di sini aja. Dekat. Enak kan mah. Memang cita-cita dia dari dulu mau punya tempat tinggal deket masjid.’
Ibunya juga bilang, di tempat kerjanya, dia nggak mau di bagian yang masarin buku ke sekolah-sekolah. Kata dia, seringnya jadi lahan kolusi sama kepsek. Jadi editor di belakang meja aja. Lebih menenangkan.
Kalau di pertemuan-pertemuan keluarga, dia yang paling semangat ngajak sholat begitu adzan kedengaran. Dia bilangnya,’Ah, aku mau nungging dulu ah.’ Dia bangun dari tempat duduknya, terus mulai deh nggeser-geser meja sambil gelar sajadah-sajadah. Kan orang yang lihat otomatis ikutan kan, nggak punya kesempatan atau alasan buat nunda lagi :)
Begitu juga pas saya ketemu guru ngajinya. Cerita beliau, dia juga bacaan qur’annya paling bagus di antara teman-temannya. Subhaanallah...gurunya ternyata orang yang cukup familiar lho di telinga kita-kita yang suka baca T*****i.
Saya ikut nemani keluarganya sampai ke makam, di pondok kopi situ. Mulai dari awal sampai akhir. Pas saya dengan ibunya melihat liang, saya mbatin,”Kok lubangnya kecil bener sih. Tukang galinya belum tahu apa ya, orangnya kan tinggi besar. Tapi liangnya kayaknya nggak akan muat deh. Tapi subhaanallah, ternyata bisa masuk... Bahkan ada lebihnya beberapa jengkal.
Dan ternyata yang tadi mbatin nggak cuma saya. Sepulang dari makam, saya dan keluarganya sempat ngobrol hal yang sama!
Trus, ketika seorang temannya masuk ke liang untuk menaruh jasadnya di tanah, dia benar-benar merasa tidak sedang membopong jenazah seberat 100kg, tapi seperti ringannya orang biasa saja. Ringan...
Bahkan ketika tadi masih di rumah, kalau yang menggotong dua orang saja cukup bu, ringan banget, kata temannya itu. Subhaanallah...
Cerita ini nggak cuma saya ceritakan di sini, tapi juga ke teman-teman saya yang lain. Dan bukan hanya saya, para tetangga disini juga mendapat kesan yang sama. Ibu saya juga menggumam terus,”Ya Allah, si Dicki....anak baik itu...”
Kakaknya sendiri, cerita ke saya, “Saya pernah nyinggung-nyinggung jodoh. Usianya kan sudah cukup untuk nikah [26]. Saya tanya-tanya. Dia bilangnya, iya, insya Allah yang terbaik. Yang terbaik memang sudah dia dapat! Bidadari!
Dia benar-benar dapat apa yang dia inginkan....bidadari.....
Saya ....saya benar-benar berharap kelak anak-anak saya sesholeh dia ya Allah...
Ya Allah, jadikan anak-anak kami anak-anak sholeh, seperti Dicki...
Seperti kata ibunya, “Ya Allah, titipan-Mu itu benar-benar menyenangkan hati kedua orangtuanya. Kau ambil dalam keadaan suci, dan sedang berpuasa. Saya ikhlas melepasnya... ”
[kami semua yang mendengarkan tunduk terpekur, berurai air mata dan mengaminkan doa itu]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar