******HIDUP ADALAH UNTUK IBADAH ********JADIKAN SELURUH AKTIVITAS HIDUPMU UNTUK MENCAPAI KEBAHAGIAAN DUNIA AKHIRAT *********JALAN YANG LURUS ***********yaitu jalan orang-orang yang telah Allah berikan nikmat, bukan jalan yang dimurkai Allah dan juga bukan jalan yang sesat.

Jumat, 15 Desember 2017

Jodoh Tak Akan Tertukar


Jodoh Tak Akan Tertukar

Cerpen Karangan: Andromeda AL

Sejauh apapun terpisahkan, jika jodoh tetaplah jodoh. Akan selalu ada takdir yang mempertemukan. Tak pernah bisa mengelak, jika Allah yang berkehendak. Jodoh akan tetap bersatu. Karena tulang rusuk tak akan pernah tertukar.
Juli 2006

Berbeda dari biasanya. Malam minggu ini, Nana hanya berdiam diri di dalam kamar. Ini pertama kalinya ia tak diajak berkencan oleh kekasihnya, Aziz. Bahkan, lelaki itu tak ada kabar sejak pagi.

Hatinya resah menunggu. Kegalauan menimpa dirinya. Banyak pesan ia kirim ke nomor lelaki itu, tapi tak ada satu pun yang mendapat balasan darinya. Berulang kali ia meneleponnya, tapi tak ada jawaban.


Jam sudah menunjukkan pukul 23.00. Tapi, matanya tak jua bisa terpejam. Ia mengambil ponselnya. Lalu ia ketikkan pesan yang akan ia kirim ke nomor kekasihnya.

“Sayang, kamu kenapa? Jangan mendiamkanku seperti ini. Jika ada masalah, kita bicarakan baik-baik. Good night, sayangku. Tidur yang nyenyak ya!”

Send. Pesan itu terkirim. Ia kembali mencoba memejamkan matanya. Hatinya yang sudah sedikit damai, membuatnya bisa tertidur.

Sekolah masih sepi. Hanya ada beberapa siswa yang sudah datang. Nana berjalan di koridor sekolah dengan kepala menunduk. Ia tak mau orang lain melihat keadaan cukup aneh di matanya yang tertutup kacamata. Menangis semalaman hingga tertidur membuat matanya berkantong hitam. Meski ia mengenakan kacamata, kantong hitam di matanya tetap nampak.


“Na,” panggil sahabatnya, Vina begitu ia masuk ke dalam kelas.

Ia mendongakkan kepalanya. “Na, astaga Nana! Kau baik-baik saja kan?” Seru Vina -terkejut saat melihat matanya.

“Ya. Lebih baik dari kemarin,” ujarnya singkat.

Vina mengangkat alisnya -tak percaya.

“Bagaimana dengan matamu itu?” Tanya gadis itu khawatir.

“Mataku memang tak baik-baik saja. Tapi, percayalah! Ini jauh lebih baik dari kemarin,” jawab Nana sedikit sebal dengan pertanyaan sahabatnya.

“Baiklah. Apa kau ada masalah dengan kak Aziz?” Tanya sahabatnya pelan.

Oh no! Ya Tuhan! Mengapa nama lelaki itu diungkit-ungkit lagi?


“Aish! Aku sudah putus dengannya,” jawabnya ketus.

“Kok bisa?” Vina menatapnya tak percaya.

“Ya, bisalah! Orang idup aja bisa mati,” jawabnya asal.

Vina berdecak kesal mendengar jawabannya.

“Itu kan takdir!”

“Nah, yang ini juga takdir!” Serunya tak mau kalah.


Oktober 2013

Seorang gadis berjalan di trotoar, dengan jilbab putihnya yang berkibar tertiup angin. Ia baru saja pulang dari kantor tempatnya bekerja. Di tengah perjalanan, tiba-tiba handphonenya berdering.

My Mom is calling …!


Ia langsung menerima telepon dari ibunya.

“Ya, Ma? Apa? Sekarang? Nana masih di jalan nih, Ma. Tunggu sebentar lagi tak apa kan? Oke. Waalaikumsalam.”

Klik. Telepon dimatikan oleh ibunya. Ia mempercepat langkahnya, agar segera tiba di rumah. Mama memberitahu ada tamu yang memiliki sedikit urusan dengannya.


Tampak di halaman rumahnya ada sebuah mobil yang asing di matanya. Ia yakin itu adalah mobil tamu yang dikatakan Mama-nya di telepon.

“Assalamualaikum,” salamnya sebelum masuk.

Napasnya tercekat melihat tamu yang datang. Buru-buru ia masuk dan menaiki tangga -kabur menuju kamarnya. Tapi, terlambat. Mamanya sudah terlanjur menangkap basah kehadirannya.

“Waalaikum salam. Eh, Nana-nya udah datang. Gabung sini dulu, Na!” Panggil Mama-nya sambil melambaikan tangan.

Mau tak mau, ia mendekat dengan kepala tertunduk -malu melihat mereka.


“Na, kenalin ini Tante Intan, temennya Mama. Yang itu Om Reza, suaminya Tante Intan. Dan yang paling ganteng itu Aziz, anak pertama mereka,” Mama menunjuk tamunya satu persatu.

Ia menyalami Tante Intan, dan Om Reza. Lalu menangkupkan tangannya pada Aziz. Jangan tanya, Aziz ini adalah mantan pacarnya saat SMA dulu. Dan apa kata Mamanya tadi? Aziz yang paling ganteng? Hatinya tak bisa mengelak pernyataan itu. Ia akui, Aziz memang tampan.

“Saya Nana, Om, Tante,” ujarnya -memperkenalkan diri.

Ya, gadis itu adalah Nana. Ia sengaja tak menyebut Aziz saat memperkenalkan dirinya. Ia yakin, lelaki sudah mengenalnya.


Ia menoel-noel lengan Mamanya -memberi isyarat bahwa dirinya ingin segera pergi dari sana. Namun rupanya, kode itu tak bisa diartikan oleh sang Mama.

“Kau ini kenapa sih, Na? Dari tadi kok tak bisa diam. Malu dikit kek, sama tamu kita tuh,” Mama menatapnya bingung.

Ia menepuk dahinya.

‘Mama gagal paham.’ Ia membatin.


Dapat ia lihat, di seberang sana, bibir Aziz berkedut-kedut menahan tawa. Ia yakin lelaki itu sudah memperhatikan dirinya sejak tadi. Matanya melotot tajam menatap lelaki itu. Berhasil. Lelaki itu bungkam seketika. Bibirnya tak lagi berkedut. Ia kembali menatap Mamanya.

“Ma, Nana ke atas dulu ya!” Pamitnya lalu ngacir menaiki tangga -kabur- menuju kamarnya.

Mama beserta para tamu melongo dibuatnya. Kemudian, mereka kompak terkekeh geli melihat kelakuan anak gadis Azzalea.


Nana kembali dalam keadaan yang lebih segar dari sebelumnya. Pakaian kerjanya sudah berganti dengan gamis ungu, dengan jilbab yang senada. Ia kembali duduk di samping Mamanya. Sedangkan Papanya masih berada di Amerika.


“Baiklah. Untuk mempersingkat waktu, akan segera kami sampaikan tujuan kami bertamu pada kalian,” Om Reza menatap Nana dan Mamanya satu per satu. Lalu menatap anaknya sendiri yang tampak gugup.

“Sebelumnya, saya meminta maaf bila kedatangan saya beserta orangtua saya membuat Tante dan Nana terkejut.” Aziz menghela napasnya sebelum melanjutkan.

“Tujuan utama saya dan orangtua saya datang adalah untuk melamar anak gadis Tante Azza yang bernama Nasya Abira Zahida atau Nana,” Aziz sukses mengucapkan kalimat itu dalam satu tarikan napas.


Nana? Jangan tanya. Gadis itu sudah panas dingin di tempatnya. Jantungnya berdegup kencang. Tangannya meremas gamis yang ia kenakan. Kepalanya tertunduk. Keringat dingin mengucur di keningnya. Gugup melandanya.

“Saya serahkan semua keputusan pada anak saya,” ujar Mama lalu meraih tangannya dan menggenggamnya–memberi kekuatan -seolah mengerti kegugupan yang sedang melandanya.


Ia menarik napasnya dalam-dalam. Lalu menghembuskannya perlahan untuk mengurangi kegugupannya. Ia mengangkat kepalanya perlahan. Lalu kembali menunduk saat Aziz menatapnya.


“Bagaimana, nak?” Tanya Om Reza–meminta jawaban.


Ia kembali mengangkat kepalanya.

“Bismillah. Lamaran ini, tidak saya tolak.” Ujarnya tegas dan mantap.


Dapat ia lihat, semua orang -termasuk lelaki itu- sempat menahan napas mendengar kata ‘tidak’ terucap dari bibirnya. Namun detik berikutnya, mereka kompak bersyukur dan bernapas lega mendengar jawabannya.


September 2015

Tak terasa, sudah hampir dua tahun usia pernikahannya dengan Aziz. Hari ini, ia beserta suami dan anaknya, akan pindah ke rumah baru mereka. Rumah mereka sudah selesai dibangun sejak seminggu yang lalu. Tapi, mereka baru pindah hari ini, dikarenakan Mamanya yang masih ingin bersamanya lebih lama.


Ia membuka lemari bukunya. Mencari-cari buku yang penting untuk dibawa ke rumah baru. Namun, pandangannya tertuju pada sebuah amplop yang berada di bagian tersembunyi dalam lemarinya. Bagian yang hanya berisi dokumen-dokumen rahasia miliknya. Ia teringat, amplop ini berisi surat dari Aziz saat memutuskan hubungan mereka.


Ia membaca kembali surat dari lelaki itu. Sudut bibirnya terangkat saat membaca tiga paragraf terakhir yang ditulis suaminya.


“Jangan menangis. Aku tak suka ada air mata yang mengotori wajah cantikmu. Aku melepasmu bukan berarti aku tak mencintaimu. Tapi, karena aku terlampau mencintaimu, aku tak ingin cinta ini menyesatkan kita berdua.


Percayalah. Sejauh apapun terpisahkan, jika jodoh tetaplah jodoh. Akan selalu ada takdir yang mempertemukan. Tak pernah bisa mengelak, jika Allah yang berkehendak. Jodoh akan tetap bersatu. Karena tulang rusuk tak akan pernah tertukar.


Jika memang kau mencintaiku, maka bersabarlah. Jikalau Allah menghendaki pertemuan kita kembali, maka aku akan datang untuk melamarmu tujuh tahun lagi. Di saat aku telah memantaskan diri menjadi pendampingmu.”


Ia masukkan kembali surat itu ke dalam amplopnya. Lalu, ia masukkan ke dalam koper yang akan dibawanya ke rumah baru.


“Kau benar,” ujar Nana sambil menyandarkan kepala di dada suaminya. “Jodoh tetaplah jodoh. Karena tulang rusuk tak akan pernah tertukar,” lanjutnya mengulang kalimat dalam surat itu sambil menatap Aziz yang tersenyum manis padanya.

Lelaki itu mengecup keningnya. Sedangkan anak mereka sudah tertidur sejak tadi. Dan tentu saja, itu membuat Aziz bahagia, karena ia mempunyai waktu untuk berduaan bersama istri tercintanya.

“Ya. Dan aku katakan sekali lagi. Bukan aku yang memilihmu, tapi Allah memilihmu untuk aku cintai,” ujarnya sambil menatap wajah cantik istrinya tanpa merasa bosan.


“Aku sangat bersyukur ketika Allah memilihmu untuk menjadi imamku,” wajah istrinya terlihat berseri-seri ketika mengatakannya.

“Aku pun sangat bahagia dengan wanita shalihah pilihan-Nya,” wajahnya sendiri tak kalah berseri-seri dari wajah istrinya.


Kedua insan itu tersenyum dan bertatapan dengan tatapan penuh cinta, yang mengundang Allah untuk menurunkan rahmat-Nya kepada mereka.


sumber : cerpenmu.com

Tidak ada komentar: