Ini bakatku, ini duniaku, tolong hargai aku! Beri aku kebebasan, beri aku kesempatan, agar aku bisa menjadi ‘AKU’.
“Pak, benjing jam sedoso saged tindak dateng Gedung Maharani mboten? Alhamdulillah, lomba nari kolowingi angsal juara setunggal. Bapak diundang wangsul dateng mriko kaleh panitia, niki pak undangane. Mengken dateng mriko njeh wonten materi kangge berangkat dateng provinsi mbesok Pak.” kataku pada Bapak yang sedang membaca koran paginya. Aku sengaja bertanya tentang kesanggupan Bapak menghadiri acara penyerahan hadiah atas keberhasilanku meraih juara satu dalam serangkaian acara festivalkesenian di kotaku. Aku menyodorkan undangan tersebut pada Bapak, berharap Bapak segera membuka dan membacanya. Aku ingin mengetahui respon Bapak, maka mengulur-ngulur waktu bersepatu dan mengecek kembali isi tasku.
Namun Bapak masih sibuk dengan korannya, ketika kulirik halaman yang tengah beliau bacatertera berita dengan tulisan yang diblok besar-besar berjudul MENDIKNAS SEGERA PUTUSKAN PENGHAPUSAN SEKOLAH BERSTANDART INTERNASIONAL. Dalam hati aku menggerutu kenapa Bapak tak segera mengambil undangan itu.
Ternyata usahaku sia-sia, Bapak tak juga menyentuh amplop itu untuk dibuka dan dibaca. Sampai aku selesai bersepatu dan mengecek buku-buku di dalam tas padahal Bapak juga sudah selesai membaca berita. Karena kulihat Bapak sedang membolak-balik halaman korannya, mencari berita yang pas untuk dibaca lagi.
Kenapa sih Bapak tak segera meresponku, atau sekedar bertanya, atau mengucapkan selamat. Gerutuku dalam hati. Ekspresi Bapak datar, sibuk dengan korannya. Menyebalkan.
Selalu saja begini ketika aku menyampaikan sesuatu pada beliau perihal juara-juara yang kuraih atas prestasiku di bidang seni dan sastra. Tak ada respon yang bisa membuat hatiku berbunga-bunga. Hanya ibu yang bisa membuat ku tersenyum senang. Hanya ibu saja rasanya yang mampu menghargai jerih payahku. Hanya ibu yang membiarkanku menggeluti dunia yang ku mau. Tidak dengan Bapak yang kurang suka jika aku bergelut dalam dunia seni dan sastra.
Ketika aku pamitan pada Ibu setiap akan berangkat sekolah, selalu saja teruntai doa yang menyejukkan dari bibirnya. Doa alias pesannya padaku itu mampu membuatku bergairah untuk belajar di sekolah. Walaupun nantinya di kelas aku akan bertemu dengan pelajaran yang akan menyita pikiran dan energi seperti matematika, kimia dan fisika.
Lain pula dengan Bapak, yang kerap kali membuat bibirku cemberut karena beliau selalu saja bilang “Belajar yang serius biar bisa ikut olimpiade SAINS. Bapak kan bangga jadinya.”
Selalu ucapan itu yang dilontarkannya ketika aku pamit akan berangkat sekolah. Seperti pagi ini, Bapak berkata seperti itu lagi ketika aku pamitan dengan Bapak. Membuatku badmood bukan kepalang.
Sepanjang perjalanan berangkat ke sekolah aku masih saja sebal dengan sikap Bapak tadi. Aku membayangkan apa yang akan terjadi, apa Bapak bisa datang atau tidak? Kalau Bapak tak bisa datang tak apalah setidaknya beliau memberiku ucapan selamat atau sedikit respon atas prestasiku ini.
Bapak, orang yang disiplin. Keras kepala bukan main. Pendiriannya kuat. Kalau mau A harus dituruti. Pernah ketika kemarin kakak ingin melanjutkan pendidikan di Fakultas Ilmu Komunikasi, tapi Bapak menentangnya. Katanya, kalau mau sekolah ya di jurusan pandidikan ilmu matematika atau kimia atau fisika. Kan pinteranya ketahuan, kelihatan kalau punya skill yang tidak diragukan. Dan kakakku membantah keinginan Bapak, terus memaksa Bapak agar menyetujuinya daftar kuliah di jurusan ilmu komunikasi.
Kakak ingin menjadi wartawan, hal itu kutahu ketika kakak curhat padaku karena kesal dengan sikap Bapak. Dan aku hanya menimpali curhatannya dengan ucapan begini “Turuti wae mas, daripada dinengno terus dan muring-muring ae gak jelas, gawe aku sumpek nok omah”. Dan kakakku kesal pula dengan jawabanku, menghantamku dengan bantal boneka kitty dan berlalu meninggalkan kamarku dengan muka masam.
Melamun dalam berkendara membuat pikiranku kacau. Berkendara sambil mikir reno-reno dapat memperlambat laju motorku dari biasanya. Tapi aku tak merasakannya. Dan sekarang, aku linglung ketika sampai di depan gerbang sekolah, pintu gerbang sudah ditutup. Kulirik jam di handphoneku. Tepat pukul 06.50. Aku telat 5 menit, pantas saja satpam sudah menutup pintu gerbang ini.
Aku memarkir motorku, memanggil-manggil pak satpam yang tengah asyik membaca Jawa Pos di pos jaganya. Aku merajuk pada pak satmpam yang berpawakan tinggi besar ini agar mau membukakan pintu gerbang untukku sekali ini. Setelah berdebat kurang lebih lima menit dan berkat kebaikan hati guru piket hari ini aku bisa masuk dan mengikuti pelajaran. Walaupun nantinya saat pulang sekolah aku harus menulis kalimat BAPAK IBU GURU, MULAI BESOK SAYA BERJANJI TIDAK AKAN DATANG TERLAMBAT LAGI sebagai hukuman. Aku harus menulis kalimat tersebut di kertas folio, menulis satu lembar penuh bolak-balik.
Hari ini aku mengalami tiga guncangan batin. Yang pertama sikap Bapak, yang kedua telat, yang ketiga harus menjalani hukuman dan berarti itu membuat waktu pulang ke rumah molor.
Esok harinya, hari Minggu. Hari libur sekolah dan hari libur kerja Bapak. Otomatis Bapak harus bisa datang ke Gedung Pancasila, HARUS. Aku ingin membuat Bapak bahagia ketika aku dipanggil maju ke depan dan mendapat penghargaan berkat keluwesanku menarikan tari tradisional dan nanti di pertengahan acara aku akan membacakan puisi. Puisi yang ssesungguhnya kutujukan untuk Bapak. Oleh karena itu aku berharap Bapak dan Ibu datang.
Minggu yang kunanti. Pagi yang indah ketika kubuka jendela, basahnya embun membasahi kaca jendela kamarku. Sejuknya udara pagi begitu terasa karena kamarku berada dibawah pohon mangga yang usianya sudah cukup lama dan daunnya yang rimbun. Burung milik Bapak yang digantung di dahan pohon yang ku tak tau apa namanya ini berkicau dengan merdu, karena Bapak tengah memandikannya dengan menyemproti air. Menambah suasana bahwa pagi ini akan menjadi hari yang menyenangkan menurutku.
Beberapa jam kemudian, ketika aku akan berangkat mandi sebelum menghadiri acara itu penterahan hadiah, Bapak memanggilku dan bilang “Nduk, Bapak ndak bisa datang. mau ke kantor ada tugas.”
“Inggih pak mboten nopo-nopo, mengken kulo tak berangkat kalih ibuk kaliyan dek Iqbal.” Begitu jawabku. Ah aku benar-benar kecewa. Sangat kecewa. Kupikir penampilan Bapak yang sudah necis ini untuk menghadiri acaraku, tapi ternyata tidak.
Perasaan kecewa yang amat dalam menyelimuti benakku, berkali-kali setiap ada lomba dan aku berhasil meraih juara Bapak jarang bisa datang. Kalau pun bisa ya hanya 20 menit saja, itu paling lama. Ah bapak, selalu begitu. Selalu menuntutuku untuk menggeluti dunia akademik daripada minatku yang menggebu-gebu di bidang seni dan sastra.
Selalu saja aku ditekan untuk mengikuti bimbingan belajar swasta di kotaku. Menyita waktuku saja. Aku lebih suka menghabiskan waktu untuk mengikuti ekstrakulikuler di sekolah daripada harus ikut bimbingan belajar. Bahkan setiap penerimaan raport Bapak selalu ngedumel gara-gara nilai raportku turun.
Alhasil 30 menit sebelum acara dimulai aku berangkat dengan Ibu dan Iqbal. Kulaju motor matic dengan kecepatan 70 km/jam. Ibu ngomel di jalan, muring-muring. “Jangan ngebut-ngebut to nduk, iki lo mboncengno ibuk mbek adek. Lampu abang kok yo mbok trabas ae.”
“Iyo buk, santae to. Biasa ae, okeee!” kataku sambil menyakinkan ibuk. Ibuk dan Iqbal yang kuboncengkan tak tenang hatinya, khawatir karena keselamatannya berada di tanganku dan aku hampir saja mencelakakan mereka.
Aku berhasil tiba lima menit sebelum acara dimulai, aku mencarikan tempat duduk untuk Ibuk dan Iqbal di bangku yang agak depan lalu kupersilahkan Ibuk dan Iqbal duduk, aku pamit ke backstage untuk koordinasi dengan panitia mempersiapkan penampilanku nanti.
Selama acara berlangsung aku tak bisa konsentrasi dengan acara ini. Pikiranku menerawang jauh, situasi seperti ini membuatku risau. Apa aku harus bahagia? apa aku harus bersedih? Bahagia karena setidaknya aku bisa menunjukkan pada ibu jika aku memang benar-benar serius dengan dunia seni dan sastra. Sedih karena gagal menyakinkan Bapak agar mau mendukungku bergelut di dunia seni dan sastra.
Ah Bapak, guratan wajahmu tergambar jelas dalam benakku sekarang. Membuat perasaan ini gelisah karena aku belum bisa membuat Bapak bangga denganku. Pak, sampai kapan Bapak akan tersenyum lepas karena bahagia padaku? Apa mungkin senyum itu akan ada jika aku lolos Olimpiade SAINS seperti keinginan Bapak? Atau apa jika aku menjadi peringkat satu di kelas karena prestasi akademikku yang gemilang? Iya pak? Begitu?
Pak, apa kau bangga denganku dengan diriku yang berhasil meraih banyak penghargaan setiap mengikuti lomba seni, sastra atau sekedar olahraga renang dan bulutangkis? Apa Bapak bahagia? Apa Bapak bangga padaku?
Pak, biarkan aku bebas seperti sekawanan burung yang terbang dari satu pohon ke pohon yang lain itu. Pak, biarkan aku menjadi angin yang bisa menyejukkan hatimu dengan kemampuan yang aku miliki di bidang yang kutekuni. Pak, biarkan aku menjadi AKU sendiri.
Kelak, aku akan membahagiakannmu dengan secuil prestasi di bidang akademik. Tapi kelak Pak, Insya Allah. Tidak sekarang, hanya belum waktu saja. Lamunku dalam hati.
Tiba-tiba aku tersentak dengan kehadiran seorang pria setegah baya dengan tubuh agak gendut dan kepala botak yang menyalamiku dan mengajakku bicara.
“Oalah, ini to yang namanya mbak Evilia Selamat ya berhasil meraih juara 1 lomba nari. Reni sering cerita sama Bapak, pengen kayak mbak Via katanya yang jago nari dan baca puisi”, ucapan seorang Bapak yang kutahu ia adalah Bapaknya Reni. Adik kelasku yang juga mengikuti ekstra tari di sekolahku.
“Terimakasih Bapak. Dek Reni narinya juga luwes dan lincah. Bahkan bisa lebih bagus dari saya.” Jawabku dengan seulas senyum dan wajah memerah karena bahagia mendapat pujian seperti tadi.
“Nanti kalau ekstra lagi, Reni kasih semangat lagi ya biar lebih jago narinya. Itu lo mbak, pelajarannya sudah kendor. Tapi sepertinya dia tertarik dengan kesenian. Ya saya dukung. Daripada tidak punya potensi sama sekali. Setiap saya suruh belajar pasti ada saja alasannya yang katanya mau ekstra tari lah, latian dance, latian cheers.”
“Iya Pak, besok saya akan mengajari dek Reni untuk belajar nari lagi. Biar lebih semangat. Itung-itung kalau nanti saya sudah lulus SMA, kan dek Reni bisa jadi penerus saya. Yang mengharumkan nama sekolah”.
“Yawis, Bapak permisi dulu ya mau cari tempat duduk.” Kata pak Handoko
“Nggih Bapak, Monggo.”
Lamunan yang membuatku gelisah buyar seketika dengan kedatangan Pak Handoko, rasanya kedatangan Pak Handoko membuatku makin pilu saja. Ah, andai saja Bapak sepeti Pak Handoko. Andai saja.
“Mbak pia mbak pia sudah dipanggil ayo maju kedepan,” kata Iqbal yang mengganduli lenganku memintaku segera maju ke podium karena giliranku membacakan puisi sudah tiba.
“Anggap saja Bapakmu ada disini, malihatmu. Api aku tak tahu dimana dududuknya,” sahut Ibuku yang tahu kondisiku.
Aku beranjak dari dudukku, melangkah menuju podium, orang-orang yang duduk di bangku barisan depan memalingkan wajah ke belakang. Melihatku berjalan menuju arah podium.
Ingin rasanya aku berteriak. Bapak, Lihatlah anakmu disini, tengah menunggu kedatanganmu!
Cerpen Karangan: Yeni Ayu Wulandari
Blog: www.blogmenulisyeni.blogspot.com